Senin, 26 September 2011

Gak Kepikiran

Kemaren pas lagi jalan-jalan ke bantul, di sebuah rumah makan sate kambing, gue asik denger sebuah cerita yang luar biasa keren. Temen gue ini cerita tentang ibunya yang jadi guru SLB. Baru denger kata "GURU SLB" gue langsung mikir betapa menantangnya pekerjaan itu dan gue yang dari dulu pengen banget jadi autis gak pernah kepikiran bagaimana mengajari seorang berkebutuhan khusus untuk menanggapi pembicaraan, menulis, membaca, aritmatika, menceritakan hal-hal kecil yang disukai, mengatur hidup mereka yang sederhana secara mandiri itu.

Kata ibunya, guru SLB itu, harus bisa mengajar semua ke-tuna-an. Mulai dari tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, dan segala macam ketidakmampuan yang lain. Gue gak kebayang ngajarin anak autis aja gimana harus sabarnya apalagi dengan tuntutan itu semua pasti gue gak akan sabar. Apalagi dia juga bilang kadang ada anak yang butuh perhatian banget sampai pernah dibawa pulang kerumahnya dan diajak main, dan tentu dengan sabar mereka harus menanggapi karena kalo nggak tentu si murid tadi ngamuk dan ngambek gak mau makan, gak mau ngomong, dan sebagainya. They do what they want to do. and that's they are.



Gue juga diceritain gimana kegiatan disana. ada semacam galeri kumpulan karya-karya mereka yang justru nilai seninya lebih dari karya orang-orang normal. karyanya kayak anyaman, lukisan, puisi, dan karya seni rupa yang lain dipamerkan menjadi satu membentuk suatu harmoni yang layak dipamerkan di eksibisi internasional, begitu katanya.

Mereka yang semaunya, mereka yang apa adanya, memang tidak mengada-ada. Bukan buatan waktu temen gue cerita pernah ada seorang tuna netra main kerumahnya. dia dikenalin sama barang-barang yang gak pernah dilihatnya, Keyboard komputer. Ia meraba bagaimana cara menggunakan barang asing itu. temen gue mempraktekkan dan mengajarkan bagaimana menggunakannya. Dia dengan sergapnya menerima pelajaran itu dan mengetikkan semua kata-kata yang disebutkan temen gue itu. Tanpa kurang sebutir huruf pun. Sebelum pulang, ia ditanya apa cita-citanya nanti. Sederhana sekali jawabnya: jadi tukang pijit.

Saat itu gue mikir, gue harus kesana, pengen ngajak ngobrol mereka, berbagi hal-hal tidak jelas arahnya, membuka inspirasi hidup, menemukan jati diriku yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar